Thursday, February 23, 2012

simfoni semesta


Menurut Phytagoras, Tuhan menciptakan semesta dengan matematika. Saya percaya itu. Karena segala sesuatu yang diciptakan-Nya amat detil dengan presisi yang mahateliti, hingga tak ada setitik atom pun luput dari perhitungan-Nya.

Tak hanya itu. Saya percaya sekali Tuhan menciptakan semesta dengan tidak hanya sekedar matematika. Melainkan matematika yang harmonis, beritme, dan bermelodi. Harmonis secara kompleks dan beragam, yakni dengan sebuah simfoni.

Simfoni atau orkestra yang bisa dirasa dan dilihat manusia di dunia ini adalah sebuah lagu atau senandung yang sangat indah yang tercipta dari gabungan nada-nada yang tidak asal bunyi. Gabungan nada-nada yang mengikuti sebuah aturan, sebuah sistem, yang mana apabila satu nada menyalahi aturan itu, lagu itu menjadi rusak. Nada-nada tersebut keluar dari beranekaragam alat musik seperti piano, perkusi hingga biola. Nada-nada itu sendiri merupakan kumpulan not-not melodis yang masing-masing punya hitungan teratur atau ketukan sendiri. Not-not dengan hitungan masing-masing itulah matematika yang melodis. Not-not itu bisa menjadi perumpamaan bagi setiap makhluk hidup ciptaan Allah, yang dalam dirinya punya detak jantung masing-masing, dengan ritme masing-masing. Aturan itu juga merupakan perumpamaan bagi keharusan manusia untuk berbuat baik. Siapapun, tidak pandang bulu, wajib melakukan hal-hal baik sesuai perannya demi kemanusiaan, demi keberlangsungan kehidupan yang berkesinambungan.

Bukankah itu mungkin maksud Tuhan menciptakan kehidupan dan meminta manusia untuk menyikapinya? Hidup harmonis dalam keberagaman?

Hidup harmonis dalam keberagaman memang tidak semudah yang dibayangkan dan tidak mudah dilakukan. Kecenderungan manusia adalah merasa yang paling benar dan kurang bisa menerima perbedaan. Inginnya semua manusia punya pemikiran yang sama, kebiasaan yang sama, bahkan keyakinan yang sama.

Bayangkan bila semesta ini hanya terdapat planet yang sama dengan bumi. Bayangkan bila semua manusia punya pola pikir dan kebiasaan yang sama. Lantas apa yang ada? Hidup ini tentunya kosong tanpa makna. Makna justru ada ketika perbedaan itu ada. Makna justru ada ketika manusia mengalami pembelajaran. Pembelajaran menerima perbedaan yang warna-warni kelap-kelip itulah yang melahirkan sikap bijaksana.

Jadi, mulailah untuk tidak berharap mengubah manusia lain. Manusia bisa berubah dengan sendirinya. Keinginan berubah hanya dari dirinya sendiri. Bukan karena hasutan, tuntutan, dan lainnya. Satu-satunya yang bisa diubah adalah cara benak ini menerima dan memandang dunia. Perbedaan itu justru memperkaya. Semesta ini sungguh kaya keindahan karena ragamnya yang berjumlah maha, tak terhingga. Karena nyatanya keragaman itu merepresentasikan keindahan yang paling maha. Satu Zat. Sang Pencipta semesta.

bertemu jodoh

Suatu hari saya pernah diminta seorang narasumber untuk bertemu dengannya di stasiun TV di daerah Kedoya, Jakarta Barat. Suatu perminta...

© the mind reads, the heart speaks
Maira Gall