Thursday, October 20, 2011

luka jiwa yang berkelana


Kutatap wajahmu lekat-lekat. Ketika aku masih terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Dokter memvonis diriku koma. Itu ragaku. Bukan jiwaku. Mata jiwaku melihat kedukaan itu di matamu. Air mata yang tak berhenti bercucuran, bibir yang bergetar. Kamu sangat sedih rupanya. Tapi aku tak percaya.

Kutatap wajah saudara-saudaraku, para sahabat dan teman lekat-lekat. Ketika jasadku dibaringkan di tempat persemayaman terakhir. Kalian dibalut kain hitam dan kaca mata hitam. Kudengar bisik-bisik lirih memanggil namaku. Kudengar Yasiin dilantunkan. Kudengar deru tangis. Kalian sangat sedih rupanya. Tapi aku tak percaya.
Bagaimana aku bisa percaya? Teringat aku kala tubuh dan jiwa ini menyatu di sebuah dunia fana. Kamu, suamiku, dengan dalih sudah menikah, tak pernah menggandeng tanganku bila berjalan berdampingan. Apalagi ucapkan kata cinta, tak pernah kudengar terucap dari mulutmu. Padahal dulu pada masa perjuangan merebut hati, kamu hujani aku dengan kata itu sampai jiwa ini tersanjung.
Aku tak pernah merasakan rasa terima kasihmu atas kehadiranku di sisimu. Pergi ke kantor sedari pagi, pulang larut malam. Kamu tak pernah bertanya rindukah aku padamu. Hanya amarah yang kudapat karena kamu terlampau lelah. Bukan senyum. Bukan canda. Bukan peluk dan cium.

Sedangkan kalian, saudara, sahabat dan temanku, kemana saja kalian? Selama jiwa dan raga sehat walafiat, hanya sekali dalam dua musim kujumpa wajah-wajah kalian. Dengan banyak alasan kalian tak pernah bersilaturahim denganku. Dengan dalih rumahku jauh padahal masih dalam satu kota, karena sibuk luar biasa, maka bentuk rindu atau bertukar kabar dengan kiriman kata-kata lewat media super dahsyat bernama sms saja. SMS itu yang menggantikan peran mulut untuk berbicara dan peran telinga untuk mendengar yang sebelumnya menjadi media bertukarnya informasi.
Itulah manusia, kurang menghargai kehadiran jiwa yang ditiupkan-Nya ketika masih di kandungan bunda. Cenderung menyia-nyiakan keberadaan sesama ketika kaki mereka masih berpijak pada bumi yang sama. Waktu yang ada diremehkan. Bukannya dipergunakan sebaik-baiknya. Padahal semua tahu bahwa kapan pun setiap manusia akan berpulang, seperti makhluk Tuhan lainnya. Mereka baru sadar betapa berartinya sesuatu dalam hidupnya ketika sesuatu itu hilang darinya.
Jiwa ini berkelana. Kudapati dirimu, suamiku sibuk menulis. Dibantu penulis andal. Rupanya dirimu tengah membuat buku, berjudul In Memoir of My Lovely Wife. Kudengar batinmu berkata itu bentuk rasa kehilangan yang dalam, juga untuk mengangkat citra sebagai suami yang penyayang dan penuh kasih. Kalian juga turut menuliskan sepatah dua patah kata untuk testimonial. Penuh kata-kata cinta, merindu, serta segala bentuk puja dan puji.
Sungguh, aku terluka. Mengapa suamiku menulis buku itu ketika aku telah tiada di sisinya? Mengapa segala bentuk penghargaan dari semua datang bertubi-tubi kala jiwa ini tlah berkelana dan jasad terkubur di dalam? Buku itu sebenarnya untuk siapa? Untuk inspirasi? Aku bukan pahlawan atau tokoh penting bagi bangsa yang rakyatnya kurang rasa empati ini.
Aku bukan cenayang, yang tahu apa isi benak dan hati orang lain. Tunjukkanlah aku ini berharga bagimu dan kalian. Tak usah dengan kata bila kamu dan kalian tak mau. Kemampuan mata untuk memandangiku dengan mesra. Kemampuan bibir yang mengukir senyum. Kemampuan telinga untuk mendengar kisah, lelucon atau keluh kesah. Kemampuan tangan untuk merengkuh tubuh yang kelelahan. Peluk dan cium untuk melumerkan kegelisahan.
Seandainya aku tahu bahwa suamiku, saudaraku, para sahabat dan temanku sebegitu mencintainya, jiwa ini akan memperjuangkan kebersamaannya dengan raga. Jiwa ini akan memohon pada-Nya, karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Penyembuh.

bertemu jodoh

Suatu hari saya pernah diminta seorang narasumber untuk bertemu dengannya di stasiun TV di daerah Kedoya, Jakarta Barat. Suatu perminta...

© the mind reads, the heart speaks
Maira Gall