Thursday, September 29, 2011

love or be loved?


Pilih salah satu. Mencintai atau dicintai?
         
Pertanyaan yang terlontar ini tertulis di sebuah majalah gaya hidup dan ditanyakan kepada seorang selebriti perempuan terkenal seantero Indonesia Raya. Jawabannya membuat mata ini terpaku untuk sementara. Hm. Katanya, tentu saja dicintai.
            Saya kira jawaban ini hanya keluar dari mulut perempuan. Jadi mungkin berlaku jawaban standar berdasarkan gender dari sebuah pertanyaan. Akhirnya iseng juga saya memberikan pertanyaan yang sama pada seorang teman laki-laki. Hati ini berharap ia menjawab dengan kata yang sebaliknya. Karena dengan demikian kesimpulan saya benar. Tapi ternyata....jawabannya sama saja. 
            Hah. Rupanya hampir semua orang lebih ingin dicintai ketimbang mencintai, baik itu laki-laki maupun perempuan. Lalu apakah mencintai dengan tulus hanya ada pada hati seorang ibu atau ayah pada buah hatinya? Tidak pada pasangan? Tidak pada sesama?
            Sebelum pertanyaan itu terjawab, ada baiknya kita menelaah makna cinta itu sendiri. Kata cinta dibahas berkali-kali dalam Al-Qur’an. Beberapa di antaranya adalah:
1. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Ruum/30:21).
2. “…Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah…” (Al-Baqarah/2:165).
3. “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran/3:31).
4. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (Maryam/19:96).

Cinta yang paling dalam
            Dari keempat ayat ini saja sudah terpapar dengan jelas bahwa letak cinta yang paling dalam justru ada pada proses mencintai. Salah satunya adalah mencintai Allah yang merupakan segalanya. Bagi yang mencintai Allah, maka sudah pasti akan dicintai-Nya. Ini sudah dijamin.
            Cara mencintai Allah adalah tentu saja dengan selalu mengingat-Nya di setiap langkah dan setiap nafas seperti yang termaktub dalam surat Ar-Ra’d ayat 28, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.  Menunaikan shalat lima waktu hanya untuk meminta pada-Nya, menunaikan zakat hanya untuk-Nya, berpuasa hanya untuk-Nya, dan bertamu ke Rumah-Nya. Bukankah ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, wajah atau sosoknya saja yang selalu terbayang? Hal ini juga akan berlaku pada mencintai Allah dengan tulus. Hanya kasih Allah yang terbayang. Dan Allah adalah Maha Pencinta daripada yang pencinta, Maha Pengasih daripada yang pengasih, dan Maha Penyayang daripada yang penyayang. Kasih Allah jauh lebih besar ketimbang kasih yang lainnya.
            Rasa cinta pada Allah nyatanya adalah yang paling hakiki. Rasa itu yang menyirami hati dan sekujur tubuh ini yang kemudian menggerakkan panca indera untuk mencintai sesama. Jadi saya yakin apabila seseorang mencintai Tuhannya, pasti akan mencintai sesama makhluk-Nya. Karena dalam cinta, tidak ada kata benci. Dalam cinta, tidak kenal amarah.
           
Beri bukti, bukan janji
Coba bandingkan dengan sebagian besar dari kita yang ternyata lebih senang dicintai ketimbang mencintai. Dari rasa ingin dicintai saja tuntutan itu sudah tergambar. Bagaimana bisa dicinta apabila kita tidak mencinta? Bukankah setiap orang lebih ingin mendapat bukti ketimbang janji? Buktikan dulu bahwa kita mencinta. Tunjukkan senyum apabila berpapasan, tunjukkan salam apabila bertemu, tunjukkan tangan yang memberi sebelum diminta, tunjukkan sorot mata yang meneduhkan, tunjukkan telinga yang senantiasa mendengar, tunjukkan kata-kata yang keluar dari mulut yang menenangkan. Setelah bukti itu ada, pasti orang akan percaya. Orang secara otomatis akan memberi cinta. Otomatis kita dicintai.
            Tetapi bagaimana apabila orang yang diberi cinta tidak memberi cinta balik? Tak perlu marah dan kecewa. Mungkin simply karena orang itu ignorant atau ndablek atau tidak suka diberi cinta. Ingat selalu bahwa mencinta kepada siapapun akan dibalas kebaikan dari Allah. Mencintai secara tulus tidak hanya ada pada hubungan ibu atau ayah dengan buah hatinya. Tapi pada semuanya. Ingat selalu bahwa mencintai adalah sebuah energi positif yang tidak hanya menggerakkan hati seseorang untuk mencintai balik, tetapi juga menggerakkan hati semesta. Insya Allah semesta lah yang akan mencintai balik. 

Friday, September 23, 2011

waktu itulah sang guru




Only time will tell. Only time will heal.

Waktu. Sedemikian penting dan berharganya hingga hanya waktu yang dapat membuktikan kebenaran maupun yang dapat menyembuhkan luka.

Waktu tidak hanya sekadar pagi, siang, sore dan malam. Waktu tidak hanya kmarin, hari ini dan esok. Waktu tidak hanya sekadar dulu, sekarang, dan nanti. Begitu juga waktu tidaknya eight to five dan after office hours.

Kesemua itu yang manusia jalani hanyalah fisiknya. Manusia cenderung melupakan esensinya. Tanpa menyadari bahwa argometer kehidupan terus berjalan. Gurat keriput wajah, semakin lemahnya fisik karena kelelahan menjadi buktinya. Zaman yang berubah juga menjadi buktinya.

Sadarkah bahwa semakin waktu terus berjalan, umur juga terus bertambah, dan waktu kita hidup di dunia pun semakin berkurang?

Yang paling kasihan adalah mereka yang tidak pernah belajar untuk beradaptasi dengan segala perubahan di depan mata.mereka yang tidak pernah belajar dari segala cobaan yang memberatkan. Mereka yang tidak pernah belajar untuk mencari solusi dari setiap masalah. 

Padahal Allah mengajak kita untuk menghargai waktu. Ingatkah kita pada ultimatum-Nya, “Demi masa?”
Banyak cara yang dapat dipakai untuk menghargai waktu. Salah satunya adalah dengan belajar. Ingatkah sabda junjungan kita, Nabi Muhammad SAW untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina? Itulah ajakan beliau. Karena sesungguhnya, salah satu kelemahan manusia adalah cepat puas. Merasa dirinya paling pintar, paling cerdas. Padahal sudah jelas. Batas waktu untuk menuntut ilmu adalah sampai detik mengembuskan nafas terakhir.

Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban. Yang paling bermakna darinya adalah proses pencarian kebenaran yang kemudian berlabuh pada keyakinan akan kuasa-Nya. Proses inilah yang kemudian menjadi basis dari berkeyakinan. Basis untuk mempertebal keimanan. Semakin kita dekat dengan kebenaran, semakin kita merasa dekat dan mencintai-Nya, semakin yakin akan adanya tangan-tangan Tuhan yang menggerakkan, serta semakin bisa menerima kenyataan yang putih dan yang hitam, yang membahagiakan maupun yang menorah luka dan semakin ingin menyempurnakan ibadah. Itulah nafas habluminallah.

Cara lain yang sama pentingnya adalah mengaplikasikan ilmu itu sendiri. Bagaimana ilmu yang telah dipelajari itu dapat bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun alam semesta. Apalagi sesungguhnya, sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Sebaik-baiknya orang adalah orang yang selalu menebarkan wajah dan hati surgawi kepada dunia, serta menularkan semangat kemanusiaan dan keadilan. Itulah nafas habluminannas.

Keduanya dijalankan secara berkesinambungan. A never ending cycle…dari waktu ke waktu. Itulah yang membuat hidup kita pun menjadi kian bermakna. Itulah inti dari kehidupan. Gunakanlah waktu dengan bijak. Karena waktu itulah sang guru.

Thursday, September 22, 2011

small, but meaningful

candles, lights,
always illuminate me.
i'm always fascinated by small things that can enlighten their surroundings.
small things with big meaning.

bertemu jodoh

Suatu hari saya pernah diminta seorang narasumber untuk bertemu dengannya di stasiun TV di daerah Kedoya, Jakarta Barat. Suatu perminta...

© the mind reads, the heart speaks
Maira Gall